KEARIFAN LOKAL
kini
mulai bertembok. Pria dengan bibir sumbing tersebut hanya mengangguk-angguk
mendengar niatan yang disampaikan Dadang Sukandar, pemimpin perjalanan kali
ini. “Saya hanya menitipkan kemenyan putih, agar dibakar di batas hutan Gunung
Penjara dan asapnya diusapkan di muka tiap peserta, setelah sebelumnya membaca
surat Al Ikhlas sebanyak tiga kali,” ucapnya datar, di pelataran rumahnya,
tepat sebelum kami berangkat. Tak ambil pusing dengan tata cara yang
dianjurkan, beberapa anggota tim menolak melakukan ritual tersebut saat berada
di batas hutan. Abdu Robbi, yang bergaya muslim klotokan menganggap ritual
tersebut tergolong musyrik. Sementara Oktora Hartanto dan beberapa teman yang
beragama tapi minim menjalankan ibadah, hanya menganggap hal tersebut angin
lalu.”
Ah… mitos! Nggak logis. Sebagian kita, seperti Oktora dalam
paragraf di atas, seringkali mengabaikannya seperti angin lalu. Namun, mitos
juga terlahir dari buah pikir, tegasnya sebut saja sebagai hasil dari imajinasi
konstruktif suatu masyarakat yang terkait erat dengan hubungan antara manusia
dan lingkungan alam sekitarnya. Ada tujuan di dalam proses pembentukannya.
Tujuan yang juga tidak terlepas dari hubungan erat antara masyarakat dengan
lingkungan alam sekitarnya itu.
Sebagai hasil dari imajinasi konstruktif, mitos menjadi bagian
dari sistem pengetahuan dan sekaligus sistem kepercayaan masyarakat. Sistem
pengetahuan yang dimiliki suatu masyarakat tentu akan berpengaruh pula pada
cara-cara pengelolaan lingkungan alamnya dan sistem-sistem lainnya dalam sistem
budaya yang dimiliki. Pada masyarakat tertentu, kini sistem pengetahuan itu
dikenal sebagai “kearifan lokal” oleh masyarakat modern karena perannya yang
selaras dengan kepentingan pelestarian lingkungan.Ritual yang dianjurkan Pak
Karsad kepada tim pendaki gunung di atas misalnya, dapat dikatakan sebagai
bagian dari kearifan lokal masyarakat di kaki Gunung Penjara dalam menjaga
kelestarian hutannya. Penghormatan kepada gunung dan hutan sebagai ruang yang
diyakini mempertemukan dunia nyata dengan dunia gaib ternyata menciptakan cara
berperilaku yang tidak jauh dengan prinsip konservasi. Gunung dengan hutan dan
sungai di dalamnya harus dijaga agar masyarakat tidak terkena malapetaka akibat
kemarahan ‘sang penguasa’ makhluk-makhluk penunggu hutan.
Jika dikaitkan dengan kepentingan konservasi secara modern,
gunung dengan hutannya adalah wilayah tangkapan air yang menjadi hulu dari
sungai-sungai yang mengalir ke daerah sekitarnya. Hutan juga menjadi salah satu
penyuplai terbesar oksigen bagi makhluk hidup di sekitarnya yang juga dapat
mempengaruhi cuaca dan iklim secara global. Apabila hutan rusak, sebagai
konsekuensi logisnya rusak pula lah sungai, tanah, dan udara yang juga akan berdampak
buruk bagi kehidupan manusia. Untuk itulah gunung dan hutan perlu dilestarikan
dan tidak boleh diganggu dari kegiatan manusia secara berlebih. Gunung dan
hutan lantas dilindungi dengan penetapan sebagai Cagar Alam, Cagar Biosfer,
ataupun Taman Nasional. Tujuannya tidak lain adalah untuk menciptakan
lingkungan hidup yang lestari dengan daya dukung yang baik terhadap kehidupan
manusia.
Kearifan
dalam Pengelolaan Pertanian
Kasepuhan Cipta Gelar yang dibentuk atas dasar wangsit yang
diperoleh Abah Anom ini tidak bisa dilepaskan dari Upacara Seren Taun. Upacara
Seren Taun yang diadakan oleh Kesatuan Adat Banten Kidul menjadi salah satu
upacara adat yang paling diminati sebagai bagian dari wisata budaya bagi
masyarakat modern. Upacara ini merupakan upacara tahunan yang diadakan sebagai
bentuk rasa syukur warga kasepuhan atas hasil panen yang diperoleh.
Pada dasarnya, sistem pertanian yang dijalankan oleh masyarakat
kasepuhan tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh masyarakat petani
lainnya yang bersandar pada pandangan ‘rasional barat’. Untuk menyuburkan
tanaman padi mereka juga menggunakan pupuk kimia dan lain sebagainya. Bedanya
adalah soal waktu tanam. Masyarakat kasepuhan hanya menanam padi satu kali
dalam setahun. Panen yang dihasilkan disimpan dalam lumbung-lumbung padi dan
dimanfaatkan untuk bekal selama satu tahun ke depan hingga panen selanjutnya.
Tidak ada eksploitasi berlebihan terhadap tanah sebagai sumber daya alam utama.
Tidak ada pula monopoli. Mereka mencoba berbagi ‘ruang’ dan ‘waktu’ dengan
makhluk lain dalam kehidupannya. Mereka percaya bahwa setiap makhluk di dunia
ini ada ruang dan hak hidupnya masing-masing. Termasuk juga bagi hama.
“Pada saat giliran hama memerlukan ruang untuk hidup maka pada
setiap petak sawah itu jangan digunakan untuk tanaman padi, nanti padinya habis
diranjah hama itu.” Begitulah kira-kira pemahaman masyarakat kasepuhan yang
telah diterjemahkan oleh Kusnaka Adimihardja dalam tulisannya yang berjudul
Swadaya dan Kolaboratif Komuniti Adat dalam Melestarikan Lingkungan dan Sumber
Daya Alam. Mengenal dan menempatkan segala sesuatunya pada ruang dan waktu yang
sesuai ini penting agar tidak ada yang terganggu dan menimbulkan ‘kekacauan’.
Atau dalam bahasa yang lebih ilmiah kita sebut sebagai disequilibrum lingkungan.
Semua itu mereka lakukan sesuai dengan tatali paranti karuhun, tata cara nenek
moyang yang disampaikan secara turun-temurun.
Tidak berlebih-lebihan dan menjaga keharmonisan hubungan dalam
ruang dan waktu dengan yang lain adalah pandangan hidup yang diyakini
mendekatkan masyarakat kasepuhan pada ketentraman dan kemakmuran. Bersikap
wajar dan seimbang, itulah sikap yang ditanamkan dalam beberapa ungkapan yang
ada, seperti ungkapan hareup teuing bisi ti jongkok, tukang teuing bisi ti
jengkang (terlalu ke depan bisa tersungkur, terlalu ke belakang bisa
terjengkang) dan dahar tamba lapar, nginum tamba hanaang (makan sekedar
menghilangkan lapar, minum sekedar menghilangkan rasa haus). Semua pandangan
hidup itu tampak jelas dari kegiatan pertanian yang tidak berlebihan dalam pola
tanam dan penggunaan pestisida serta memperhatikan keseimbangan ekosistem
alami. Dalam pengelolaan hasil pertanian juga demikian. Ada lumbung-lumbung
padi yang dikelola bersama-sama dan dikeluarkan sesuai kebutuhan saja. Oleh
karena itu, tidak heran ketika masyarakat Indonesia di beberapa wilayah
menghadapi krisis pangan beberapa tahun lalu, masyarakat kasepuhan tetap tenang
dalam kemandiriannya mengelola sumber daya alam beserta hasilnya dengan
berbekal pada tatali paranti karuhun sebagai pedoman hidupnya.
Kearifan
dalam Pengelolaan Hutan
Masyarakat kasepuhan, karena letak geografisnya, memiliki kaitan
erat dengan ekosistem wilayah Gunung Halimun. Kedekatan hubungan ini sudah
tentu berpengaruh pada sistem pengetahuan masyarakat kasepuhan terhadap
pengelolaan hutan dan penggolongan lahan hutan untuk mendukung kehidupannya.
Penggolongan hutan yang ada dalam masyarakat kasepuhan yang dijabarkan oleh
Kusnaka Adimihardja dalam tulisan yang sama di atas yaitu:
Leuweng Kolot,
atau biasa juga mereka sebut “leuweng geledegan” atau “hutan tua” yaitu jenis
hutan yang masih lebat, ditumbuhi berbagai jenis tanaman atau pohon besar dan
kecil. Ciri-ciri jenis hutan tersebut pepohonannya rimbun, kerapatan pohon
sangat tinggi, dan berbagai jenis binatang masih hidup di dalamnya. Di sekitar
Desa Sirna Rasa, di mana kampung gede berada, sebagai tempat pusat upacara
warga kasepuhan, jenis hutan sebagaimana dikemukakan di atas, terdapat di
kawasan Cagar Alam Gunung Halimun (sekarang Taman Nasional Gunung Halimun
Salak).
Leuweng Sempalan,
adalah suatu jenis hutan yang dapat dieksploitasi manusia secara luas. Pada
jenis hutan ini manusia boleh membuka huma atau ladang, menggembalakan ternak
(kerbau, kambing, dan domba), mengambil kayu bakar, dan lain-lain. Di wilayah
Desa Sirna Rasa jenis hutan ini biasa pula di sebut leuweng bukaan, hutan yang
dapat dieksploitasi yang terletak tidak jauh dari tempat pemukiman.
Leuweng titipan, adalah suatu jenis hutan yang diakui oleh semua warga
kasepuhan sebagai suatu jenis hutan keramat. Jenis hutan ini tidak boleh
dieksploitasi manusia, kecuali atas ijin sesepuh girang. Penggunaan hutan
tersebut dimungkinkan apabila telah diterima semacam “wangsit” atau “ilapat”
dari nenek moyang mereka melalui sesepuh girang. Di kalangan warga kasepuhan,
Gunung Ciawitali dan Gunung Cibareno dipercayai sebagai leuweng titipan.
Kalau kita perhatikan, penggolongan hutan oleh masyarakat
kasepuhan hampir sama halnya dengan konsep pengelolaan dan penggolongan hutan
secara modern dalam konsep Taman Nasional. Di dalam konsep taman nasional, kita
mengenal apa yang disebut sebagai Zona Inti, Zona Penyangga, dan Zona
Pemanfaatan. Zona Inti dalam konsep masyarakat kasepuhan adalah leuweng kolot
dengan ciri yang sama dan tidak boleh dieksploitasi oleh manusia. Zona
Penyangga dapat dikatakan sama fungsinya dengan leuweng titipan yang juga tidak
boleh digunakan karena kepentingannya untuk menyangga Zona Inti. Dapat
digunakan hanya apabila sudah ada ijin dari yang berwenang. Namun, pada
dasarnya kedua jenis hutan ini harus dijaga kelestariannya dan tetap terlindung
dari ketamakan manusia agar kehidupan di sekitar kawasan dapat tetap seimbang.
Sedangkan Zona Pemanfaatan dapat kita samakan pula dengan leuweng sempalan. Di
mana masyarakat sekitar dapat memanfaatkannya untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya.
Sistem pengetahuan yang ada pada masyarakat kasepuhan di atas,
atau kita sebut sebagai “kearifan lokal” itu, ternyata dapat sejalan dengan
prinsip konservasi dan upaya pelestarian lingkungan yang dikelola secara modern.
Sistem pengetahuan pada masyarakat tradisional itu tidak lagi dipandang melulu
hanya mencipta ketakutan kosong tanpa makna. Di Indonesia, dengan kekayaan yang
serupa pada beberapa daerah, sudah seharusnya mengkaji kembali nilai-nilai
budaya yang dapat digunakan untuk dapat merangkak maju dan mandiri.