Powered By Blogger

Selasa, 18 Februari 2014

KUMPULAN MITOS DI INDONESIA



KUMPULAN MITOS DI INDONESIA
Setiap daerah di Indonesia memiliki adat dan kepercayaan sendiri terkait dengan proses penangkapan ikan. Biasanya memang unik dan memiliki ciri khas sendiri.  Keunikan dan kekhasan tersebut yang menjadi  identitas dari masing-masing daerah, terutama karena perbedaannya. Perbedaan ciri khas tersebut muncul karena beberapa sebab di antaranya latar belakang agama, adat istiadat, dan warisan turun-temurun dari nenek moyang.


Agama merupakan salah satu faktor kuat yang mennyetir suatu tatanan yang ada di dalam masyarakat. Tuntunan agama meresap hingga ke setiap sendi-sendi kehidupan bermasyarakat. Tuntunan merupakan nilai yang menjadi landasan dari norma. Lalu, apa hubungan nilai ini dengan ciri khas  suatu daerah dalam kaitannya dengan penangkapan ikan?.  Yap, pengaruh agama memiliki peran yang besar dalam tata cara penangkapan ikan di beberapa daerah di Indonesia. Di dalam agama Islam, hari Jumat merupakan hari suci dimana umat muslim terutama pria melaksanakan ibadah sholat Jumat. Oleh karena itu nelayan dari beberapa daerah di Indonesia memilih libur pada hari Jumat, seperti Berau, Kalimantan Timur; Pangandaran, Jawa Barat; dan beberapa daerah lain. Selain libur pada hari Jumat, mereka biasanya  juga libur pada permulaan puasa, hari raya Idul Fitri / Idul Adha, dan atau pada hari-hari bulan syawal (setelah Idul Fitri, biasa disebut pula syawalan).

Selain agama, faktor yang juga mewarnai tatacara penangkapan ikan di Indonesia adalah adat istiadat. Salah satu adat istiadat yang kental di beberapa daerah adalah larung laut. Larung laut ini merupakan kiriman persembahan kepada penguasa laut agar diberikan hasil ikan yang melimpah dan perlindungan pada saat mereka menangkap ikan. Terlepas dari nilai agama yang menentukan benar atau tidaknya kegiatan ini,  larung laut biasa dilaksanakan bertepatan dengan momen-momen tertentu misalnya syawalan. Nelayan di daerah Demak, Jawa tengah, biasanya melakukan ritual ini pada awal bulan syawal. Larung laut juga dilaksanakan di Marunda Kepu, Jakarta Utara. Biasanya, sebuah hiasan miniatur kapal yang berisikan sesajian dengan satu ekor kepala kerbau serta bagian dalamnya, cerutu, telor ayam kampung, bubur merah putih, kembang tujuh rupa, serta air yang sudah dicampur darah, dengan membakar kemenyan atau dupa, merupakan persembahan warga untuk dilarungkan ke tengah laut. Sebelumnya sajian yang akan dilarungkan dibacakan do'a. Selain larung laut, ada juga kebiasaan masyarakat Bajo yang melibatkan pemimpin adat ketika memulai musim tangkap baru yaitu dengan melakukan ritual-ritual di laut.

Warisan turun-temurun dari nenek moyang turut membentuk kebiasaan masyarakat dalam menangkap ikan. Hal paling mudah dijumpai adalah adanya mitos mengenai hantu laut, larangan melaut saat menjumpai hiu paus (whale shark Rhincodon typus), dan larangan menangkap penyu. Mitos hantu laut banyak ditemui di hampir semua wilayah di Indonesia. 

Daerah Sibolga, Sumatera Utara, pernah dijumpai nelayan yang mengaku menjumpai penampakan hantu laut, akibatnya setelah itu dia sakit. Beberapa tahun kemudian nelayan tersebut sembuh dan kembali melaut setelah di-dukun-kan. Kejadian serupa pernah dijumpai di Solor Timur, Nusa Tenggara Timur, terutama di desa Watobuku dan Moton Wutun yang menyebutkan penampakan sering dijumpai di sekitar Tanjung Naga, apalagi di daerah tersebut terdapat Pulau Sewanggi. Sewanggi sendiri artinya adalah “setan”. Penampakan yang sering terlihat di sana adalah kapal hantu, jenazah palsu, lampu-lampu setan, dan kabut tebal. Larangan melaut apabila menjumpai hiu paus dijumpai pada saat survei dan studi mengenai hiu di daerah Cirebon dan Muara Baru. Kepercayaan kemunculan hiu paus merupakan tanda kesialan dan harus segera berputar arah ke darat, masih kental dan dipercaya oleh sebagian besar masyarakat nelayan di sana. Larangan menangkap penyu karena dipercaya akan sakit bagi penangkapnya dijumpai di daerah Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah.

Begitu beragam keunikan dan kekhasan adat istiadat masyarakat Indonesia khususnya terkait dengan penangkapan ikan. Upaya konservasi dipermudah dengan adanya mitos atau adat istiadat yang menyebutkan secara tidak langsung perlindungan terhadap spesies tertentu (penyu misalnya). Oleh karena adanya kepercayaan tersebut, paling tidak masyarakat akan menghindari untuk menangkap spesies tersebut.  

Sumber :
·         Pengalaman berbagi dan diskusi dengan nelayan di sela-sela penggalian data
·         (http://fotokita.net/cerita/100814034205_7842874/larung-laut-warga-marunda-kepu)

KEARIFAN LOKAL



KEARIFAN LOKAL


kini mulai bertembok. Pria dengan bibir sumbing tersebut hanya mengangguk-angguk mendengar niatan yang disampaikan Dadang Sukandar, pemimpin perjalanan kali ini. “Saya hanya menitipkan kemenyan putih, agar dibakar di batas hutan Gunung Penjara dan asapnya diusapkan di muka tiap peserta, setelah sebelumnya membaca surat Al Ikhlas sebanyak tiga kali,” ucapnya datar, di pelataran rumahnya, tepat sebelum kami berangkat. Tak ambil pusing dengan tata cara yang dianjurkan, beberapa anggota tim menolak melakukan ritual tersebut saat berada di batas hutan. Abdu Robbi, yang bergaya muslim klotokan menganggap ritual tersebut tergolong musyrik. Sementara Oktora Hartanto dan beberapa teman yang beragama tapi minim menjalankan ibadah, hanya menganggap hal tersebut angin lalu.”

Ah… mitos! Nggak logis. Sebagian kita, seperti Oktora dalam paragraf di atas, seringkali mengabaikannya seperti angin lalu. Namun, mitos juga terlahir dari buah pikir, tegasnya sebut saja sebagai hasil dari imajinasi konstruktif suatu masyarakat yang terkait erat dengan hubungan antara manusia dan lingkungan alam sekitarnya. Ada tujuan di dalam proses pembentukannya. Tujuan yang juga tidak terlepas dari hubungan erat antara masyarakat dengan lingkungan alam sekitarnya itu.
Sebagai hasil dari imajinasi konstruktif, mitos menjadi bagian dari sistem pengetahuan dan sekaligus sistem kepercayaan masyarakat. Sistem pengetahuan yang dimiliki suatu masyarakat tentu akan berpengaruh pula pada cara-cara pengelolaan lingkungan alamnya dan sistem-sistem lainnya dalam sistem budaya yang dimiliki. Pada masyarakat tertentu, kini sistem pengetahuan itu dikenal sebagai “kearifan lokal” oleh masyarakat modern karena perannya yang selaras dengan kepentingan pelestarian lingkungan.Ritual yang dianjurkan Pak Karsad kepada tim pendaki gunung di atas misalnya, dapat dikatakan sebagai bagian dari kearifan lokal masyarakat di kaki Gunung Penjara dalam menjaga kelestarian hutannya. Penghormatan kepada gunung dan hutan sebagai ruang yang diyakini mempertemukan dunia nyata dengan dunia gaib ternyata menciptakan cara berperilaku yang tidak jauh dengan prinsip konservasi. Gunung dengan hutan dan sungai di dalamnya harus dijaga agar masyarakat tidak terkena malapetaka akibat kemarahan ‘sang penguasa’ makhluk-makhluk penunggu hutan.
Jika dikaitkan dengan kepentingan konservasi secara modern, gunung dengan hutannya adalah wilayah tangkapan air yang menjadi hulu dari sungai-sungai yang mengalir ke daerah sekitarnya. Hutan juga menjadi salah satu penyuplai terbesar oksigen bagi makhluk hidup di sekitarnya yang juga dapat mempengaruhi cuaca dan iklim secara global. Apabila hutan rusak, sebagai konsekuensi logisnya rusak pula lah sungai, tanah, dan udara yang juga akan berdampak buruk bagi kehidupan manusia. Untuk itulah gunung dan hutan perlu dilestarikan dan tidak boleh diganggu dari kegiatan manusia secara berlebih. Gunung dan hutan lantas dilindungi dengan penetapan sebagai Cagar Alam, Cagar Biosfer, ataupun Taman Nasional. Tujuannya tidak lain adalah untuk menciptakan lingkungan hidup yang lestari dengan daya dukung yang baik terhadap kehidupan manusia.
Kearifan dalam Pengelolaan Pertanian
Kasepuhan Cipta Gelar yang dibentuk atas dasar wangsit yang diperoleh Abah Anom ini tidak bisa dilepaskan dari Upacara Seren Taun. Upacara Seren Taun yang diadakan oleh Kesatuan Adat Banten Kidul menjadi salah satu upacara adat yang paling diminati sebagai bagian dari wisata budaya bagi masyarakat modern. Upacara ini merupakan upacara tahunan yang diadakan sebagai bentuk rasa syukur warga kasepuhan atas hasil panen yang diperoleh.
Pada dasarnya, sistem pertanian yang dijalankan oleh masyarakat kasepuhan tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh masyarakat petani lainnya yang bersandar pada pandangan ‘rasional barat’. Untuk menyuburkan tanaman padi mereka juga menggunakan pupuk kimia dan lain sebagainya. Bedanya adalah soal waktu tanam. Masyarakat kasepuhan hanya menanam padi satu kali dalam setahun. Panen yang dihasilkan disimpan dalam lumbung-lumbung padi dan dimanfaatkan untuk bekal selama satu tahun ke depan hingga panen selanjutnya. Tidak ada eksploitasi berlebihan terhadap tanah sebagai sumber daya alam utama. Tidak ada pula monopoli. Mereka mencoba berbagi ‘ruang’ dan ‘waktu’ dengan makhluk lain dalam kehidupannya. Mereka percaya bahwa setiap makhluk di dunia ini ada ruang dan hak hidupnya masing-masing. Termasuk juga bagi hama.
“Pada saat giliran hama memerlukan ruang untuk hidup maka pada setiap petak sawah itu jangan digunakan untuk tanaman padi, nanti padinya habis diranjah hama itu.” Begitulah kira-kira pemahaman masyarakat kasepuhan yang telah diterjemahkan oleh Kusnaka Adimihardja dalam tulisannya yang berjudul Swadaya dan Kolaboratif Komuniti Adat dalam Melestarikan Lingkungan dan Sumber Daya Alam. Mengenal dan menempatkan segala sesuatunya pada ruang dan waktu yang sesuai ini penting agar tidak ada yang terganggu dan menimbulkan ‘kekacauan’. Atau dalam bahasa yang lebih ilmiah kita sebut sebagai disequilibrum lingkungan. Semua itu mereka lakukan sesuai dengan tatali paranti karuhun, tata cara nenek moyang yang disampaikan secara turun-temurun.
Tidak berlebih-lebihan dan menjaga keharmonisan hubungan dalam ruang dan waktu dengan yang lain adalah pandangan hidup yang diyakini mendekatkan masyarakat kasepuhan pada ketentraman dan kemakmuran. Bersikap wajar dan seimbang, itulah sikap yang ditanamkan dalam beberapa ungkapan yang ada, seperti ungkapan hareup teuing bisi ti jongkok, tukang teuing bisi ti jengkang (terlalu ke depan bisa tersungkur, terlalu ke belakang bisa terjengkang) dan dahar tamba lapar, nginum tamba hanaang (makan sekedar menghilangkan lapar, minum sekedar menghilangkan rasa haus). Semua pandangan hidup itu tampak jelas dari kegiatan pertanian yang tidak berlebihan dalam pola tanam dan penggunaan pestisida serta memperhatikan keseimbangan ekosistem alami. Dalam pengelolaan hasil pertanian juga demikian. Ada lumbung-lumbung padi yang dikelola bersama-sama dan dikeluarkan sesuai kebutuhan saja. Oleh karena itu, tidak heran ketika masyarakat Indonesia di beberapa wilayah menghadapi krisis pangan beberapa tahun lalu, masyarakat kasepuhan tetap tenang dalam kemandiriannya mengelola sumber daya alam beserta hasilnya dengan berbekal pada tatali paranti karuhun sebagai pedoman hidupnya.
Kearifan dalam Pengelolaan Hutan
Masyarakat kasepuhan, karena letak geografisnya, memiliki kaitan erat dengan ekosistem wilayah Gunung Halimun. Kedekatan hubungan ini sudah tentu berpengaruh pada sistem pengetahuan masyarakat kasepuhan terhadap pengelolaan hutan dan penggolongan lahan hutan untuk mendukung kehidupannya. Penggolongan hutan yang ada dalam masyarakat kasepuhan yang dijabarkan oleh Kusnaka Adimihardja dalam tulisan yang sama di atas yaitu:
Leuweng Kolot, atau biasa juga mereka sebut “leuweng geledegan” atau “hutan tua” yaitu jenis hutan yang masih lebat, ditumbuhi berbagai jenis tanaman atau pohon besar dan kecil. Ciri-ciri jenis hutan tersebut pepohonannya rimbun, kerapatan pohon sangat tinggi, dan berbagai jenis binatang masih hidup di dalamnya. Di sekitar Desa Sirna Rasa, di mana kampung gede berada, sebagai tempat pusat upacara warga kasepuhan, jenis hutan sebagaimana dikemukakan di atas, terdapat di kawasan Cagar Alam Gunung Halimun (sekarang Taman Nasional Gunung Halimun Salak).
Leuweng Sempalan, adalah suatu jenis hutan yang dapat dieksploitasi manusia secara luas. Pada jenis hutan ini manusia boleh membuka huma atau ladang, menggembalakan ternak (kerbau, kambing, dan domba), mengambil kayu bakar, dan lain-lain. Di wilayah Desa Sirna Rasa jenis hutan ini biasa pula di sebut leuweng bukaan, hutan yang dapat dieksploitasi yang terletak tidak jauh dari tempat pemukiman.
Leuweng titipan, adalah suatu jenis hutan yang diakui oleh semua warga kasepuhan sebagai suatu jenis hutan keramat. Jenis hutan ini tidak boleh dieksploitasi manusia, kecuali atas ijin sesepuh girang. Penggunaan hutan tersebut dimungkinkan apabila telah diterima semacam “wangsit” atau “ilapat” dari nenek moyang mereka melalui sesepuh girang. Di kalangan warga kasepuhan, Gunung Ciawitali dan Gunung Cibareno dipercayai sebagai leuweng titipan.
Kalau kita perhatikan, penggolongan hutan oleh masyarakat kasepuhan hampir sama halnya dengan konsep pengelolaan dan penggolongan hutan secara modern dalam konsep Taman Nasional. Di dalam konsep taman nasional, kita mengenal apa yang disebut sebagai Zona Inti, Zona Penyangga, dan Zona Pemanfaatan. Zona Inti dalam konsep masyarakat kasepuhan adalah leuweng kolot dengan ciri yang sama dan tidak boleh dieksploitasi oleh manusia. Zona Penyangga dapat dikatakan sama fungsinya dengan leuweng titipan yang juga tidak boleh digunakan karena kepentingannya untuk menyangga Zona Inti. Dapat digunakan hanya apabila sudah ada ijin dari yang berwenang. Namun, pada dasarnya kedua jenis hutan ini harus dijaga kelestariannya dan tetap terlindung dari ketamakan manusia agar kehidupan di sekitar kawasan dapat tetap seimbang. Sedangkan Zona Pemanfaatan dapat kita samakan pula dengan leuweng sempalan. Di mana masyarakat sekitar dapat memanfaatkannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Sistem pengetahuan yang ada pada masyarakat kasepuhan di atas, atau kita sebut sebagai “kearifan lokal” itu, ternyata dapat sejalan dengan prinsip konservasi dan upaya pelestarian lingkungan yang dikelola secara modern. Sistem pengetahuan pada masyarakat tradisional itu tidak lagi dipandang melulu hanya mencipta ketakutan kosong tanpa makna. Di Indonesia, dengan kekayaan yang serupa pada beberapa daerah, sudah seharusnya mengkaji kembali nilai-nilai budaya yang dapat digunakan untuk dapat merangkak maju dan mandiri.

Cara upload file di google sites.



Cara upload file di google sites.
 G oogle sites  ini sebenarnya sebuah hosting yang sengaja di sediakan buat menyimpan file berupagambar, dokumen, atau sejenisnya sebagai pengganti google pages yang pernah di tutup oleh google. Memang benar google sites juga bisa kita gunakan untuk membuat blog gratis. Namun berbeda dengan blogger dengan domain miscah.blogspot.com, di google site hasilnya akan seperti ini : sites.google.com/site/miscah

Saya tidak akan membahas membuat blog menggunakan hosting di google sites, yang akan saya bahas adalah cara menyimpan file di google sites. Buat sobat sincereza dan sobat blogger yang belum mengerti cara menggunakan google sites, berikut ini ada sedikit tutorialnya, semoga bermanfaat.

1. Pada halaman depan, silahkan sobat login dengan account gmail sobat. Jika belum punya gmail, klik pada Sign up for Sites 
2. Setelah login, klik tombol Create Site 
3. Isi saja nama yang sobat inginkan pada Name your site, kemudian klik Create Site.
4. Setelah selesai mengisi nama dan url, klik pada tab Create page
5. Kemudian pilih pada File Cabinet dan isi Nama file tersebut, misalnya pada contoh saya mengisinya dengan nama Gambar dan pilih radio button Put page at the top level.
 create page form


6. Setelah itu sobat sudah dapat mengupload file yang sobat inginkan, klik tab Add file.
7. Untuk menggunakan url hasil gambar yang sudah di upload, silahkan klik kanan pada link download, pilih copy link location.
8. Contoh linknya seperti ini :
https://sites.google.com/site/ghaitsaa/gambar/art.jpg?attredirects=0&d=1

Hapus yang berwarna merah, sehingga menjadi :

https://sites.google.com/site/ghaitsaa/gambar/art.jpg

KELEBIHAN DAN KELEMAHAN GOGLE SITES



w         Kelebihan Google Sites

1.    Pertama, layanan ini disimpan pada domain Google.com. Artinya mesin pencari akan lebih mudah mengindeks halaman-halaman web yang kita pasang.
2.    Seperti layanan Google lainnya, Google Sites dapat menggunakan macam-macam gadget yang disediakan oleh Google maupun yang dibuat oleh berbagai pihak di luar Google.
3.    Dukungan dan bantuan yang tersedia cukup banyak. Google Sites menyediakan berbagai tautan untuk informasi yang Anda perlukan.
4.    Anda bisa menambahkan fungsi-fungsi Analytics, Webmasters Tools, dan tentunya Adsense dengan mudah dan praktis. Yang perlu Anda lakukan hanya menyalin kode yang disediakan dan menempelkannya pada tempat yang disediakan.
5.    Google Sites tidak mendukung script dan iframe. Hal ini bisa disebut kekurangan namun juga kelebihan karena dengan demikian halaman web kita lebih aman dari script-script berbahaya.

w            Kekurangan Google Sites

1.  Tidak menyediakan fitur drag-n-drop untuk mendesain halaman web. Anda harus melakukan setting sendiri.
2.    Google Sites tidak mendukung script dan iframe pada halamannya. Anda harus mencari cara atau menggunakan gadget tertentu untuk menggunakan iframe. Dengan demikian, beberapa layanan atau gadget yang menggunakan script tidak dapat  digunakan secara langsung.